Kamis, 18 Agustus 2011

Kisah Cucu Para Nazi Menghadapi Dosa Masa lalu Sang Kakek

Kisah Cucu Para Nazi Menghadapi Dosa Masa lalu Sang Kakek
Alexandra Senfft dengan bukunya

Kisah Cucu Para Nazi Menghadapi Dosa Masa lalu Sang Kakek

Senin, 16 Mei 2011 11:57 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN — Rainer Hoess saat itu berusia 12 tahun saat mengetahui kakeknya ternyata salah satu tokoh pembunuh massal dalam sejarah.

Seorang tukang kebun di sekolahnya, tahanan kamp Auschwitz yang selamat, memukulinya hingga menghitam dan membiru setelah mendengar ia adalah cucuk Rudolf Hoess, komandan kamp kematian yang sinonim dengan Holocaust.

"Ia memukuliku, karena ia melihat semua kengerian dan horor yang telah ia alami," tutur Rainer Hoess seraya mengangkat bahu dengan senyum putus asa. "Sekali menjadi Hoess, selamanya seorang Hoess, apakah kamu kakeknya atau cucunya, bersalah berarti bersalah."

Jerman, dengan kepala tegak, telah melakukan konfrontasi dengan Nazi selama berdekade. Negara itu membayar milyaran untuk kompensasi korban kekejaman Nazi, secara teliti mengajarkan sejarah Reich Ketiga--sebutan untuk era Nazi--di sekolah dan membangun tugu-tugu peringatan untuk para korban.

Tapi sidang pada Kamis di Munich terhadap pensiunan karyawan otomotif Ohio, John Demjanjuk atas dakwaan ia telah menjaga kamp kematian di Sobibor, menunjukkan bagaimana Holocoust masih menjadi salah satu bagian terdepan kondisi kejiwaan Jerman.

Kini sebagian besar warga Jerman menyusuri keterlibatan anggota keluarga mereka terdahulu dalam kejahatan Nazi. Kini lebih dari 65 tahun setelah akhir rezim Hitler, ada peningkatan jumlah Jerman yang mencoba mengungkap rahasia keluarganya.

Rahasia tak Terungkap

Beberapa seperti Hoess, yang melakukan pencarian obsesif sendirian. Sementara yang lain mencari bantuan dari seminar-seminar dan pelatihan yang telah tersebar di penjuru Jerman untuk menyodorkan panduan pencarian dan dukungan psikologis.

"Dari luar, generasi ketiga memiliki segalanya--kesejahteraan, akses terhadap pendidikan, ketenangan dan kemapanan," ujar penulis buku tentang bagaimana Holocaust memberi beban terhadap keluarga Jerman kini, Sabine Bode. "Tapi mereka tumbuh dengan banyak rahasia tak terkatakan, merasakan beban sunyi dalam keluarga yang kerap dibarengi dengan situasi tanpa kehangatan emosi dan kegelisahan samar."

Seperti yang lain, Hoess harus mengatasi penolakan kuat dalam keluarganya, yang memilih agar ia 'tidak mengulik masa lalu'. Tak terpengaruh itu semua, ia menghabiskan waktu berjam-jam sendiri di ruang arsip, perpustakaan dan internet untuk meriset sosok kakeknya.

Rudolf Hoess mengepalai kamp Auschwitz dari Mei 1940 hingga November 1943. Ia sempat kembali di Auschwitz untuk kunjungan singkat pada 1944 demi mengawasi pembunuhan sekitar 400 ribu Yahudi Hungaria di kamar gas fasilitas kamp tersebut dalam waktu kurang dari dua bulan.

Sang komandan tinggal di rumah besar mewah di Auschwitz bersama istri dan kelima anaknya--di antara mereka adalah Hans Rudolf, ayah dari Rainer. Hanya 150 meter dari krematorium, cerobong selalu mengepulkan asap pembakaran para mayat, setiap siang dan malam.

Setelah perang, Hoes bersembunyi di sebuah pertanian di utara Jerman. Ia akhirnya ditangkap dan digantung pada 1947, di depan bekas rumahnya di tanah Auschwitz.

Ketika saya menginvestasi dan membaca tentang kejahatan kakek saya, sungguh merobek-robek perasaan," ungkap Hoess dalam wawancara baru-baru ini dengan AP di rumanhya.

Bahkan saat muda, ungkapnya, ia pernah mencoba bunuh diri dua kali. Ia juga mengalami tiga kali serangan jantung beberapa tahun lalu dan juga asma, yang menurutnya kian memburuk ketika ia kian menggali masa lalu keluarganya terkait Nazi.

Kini, Hoess mengaku, ia tak lagi merasa bersalah. Toh, masih saja, beban itu menggelayutinya sepanjang masa.

Ketidakpercayaan

"Kakek saya adalah pembunuh massal--sesuatu yang hanya bisa membuat saya malu dan sedih," ujar Hoess seorang koki 45 tahun, yang kini menjadi ayah dua putra dan dua gadis. "Hanya saja, saya tidak ingin menutup mata dan berpura-pura tidak ada yang terjadi, seperti yang masih dilakukan keluarga saya. Saya ingin menghentikan kutukan yang telah menghantui keluarga saya sejak it, demi saya sendiri dan anak-anak saya."

Hoess tidak lagi berhubungan dengan ayahnya, saudara lelakinya, bibi dan sepupu yang semua memanggilnya pengkhianat. Orang asing bahkan masih melihatnya dengan sangsi dan tidak percaya ketika ia bertutur tentang kakeknya. "Seperti bisa jadi saya mewarisi kekejamannya."

Terlepas dari reaksi itu, para keturunan Nazi--mulai dari pejabat tinggi hingga tentara rendahan--mulai mencoba menemukan apa yang keluarga mereka telah lakukan antara 1933 hingga 1945.

"Para Nazi--atau generasi pertama--terlalu malu untuk bercerita tentang kejahatan yang telah mereka lakukan dan menutupi semuanya. Generasi kedua sering kali memiliki masalah pribadi karena berlawanan dengan orang tua Nazi mereka. Jadi kini, terletak pada cucu-cucu mereka untuk menghilangkan kutukan keluarga mereka," ujar Bode.

Seperti kisah satu ini. Hanya pada masa tahun-tahun kuliah saat Ursula Boger mengetahui bahwa kakeknya adalah penyiksa terkejam berdarah dingin di Auschwitz dari sebuah buku yang berisi tentang Holocaust.

"Saya mati rasa beberapa hari setelah membaca apa yang ia lakukan," kenang Boger, seorang wanita dengan tutur kata lembut dan pemalu yang tinggal di selatan Jerman. "Selama bertahun-tahun saya malu untuk mengungkapkan kepada siapa pun tentang dia. Namun saya menyadari kebungkaman itu telah memakan saya dari dalam."

Kakeknya, Wilhelm Boger, menemukan alat bernama ayunan Boger di Auschwitz--sebuah batang besi yang tergantung pada rantai dari langit-langit. Menurut sejarah, Boger akan memaksa tawanan telanjang untuk membungkukan badan ke batang besi dan memukul alat genital hingga mereka pingsan, bahkan tewas.
(keterangan gambar:Foto di atas diambil oleh Gottfried Gilbert pada 1936 dan didapat dari Alexandra Senfft, menunjukkan kakeknya, Hanns Elard Luding (kiri) bersama Herman Goering (kanan) berdiri di depan Adolf Hitler dalam konvensi partai Nazi di Nuremberg, Jerman. © AP)

'Saya merasa bersalah'

Boger, 41 tahun, mengatakan ia mulai butuh beberapa tahun untuk menjalani terapi dan seminar begitu mengetahui fakta kakeknya seorang monster. "Saya merasa bersalah meski saya sendiri bukan yang melakukan kejahatan. Saya merasa hanya harus melakukan hal-hal baik sepanjang hidup demi menebus kejahatannya," ujarnya.

Seperti Hoess, Boger pun tak pernah bertemu kakeknya secara pribadi yang meninggal di penjara pada 1977. Setelah ayahnya meninggal lima tahun lalu, ia menemukan surat tua dari kakeknya yang memohon untuk dapat melihat cucunya di penjara--permohonan yang tak pernah dikabulkan.

"Semua rasanya berlawanan," tutur Boger. "Ia adalah lelaki yang pria yang membunuh seorang bocah lelaki yang baru datang dikirim ke Autschwitz dengan sebuah apel dengan membenturkan kepala si bocah ke dinding hingga mati dan lalu memungut dan memakan apel itu."

"Di saat bersamaan ia meletakkan gambar diri saya sebagai gadis cilik di kamar tidurnya di penjara. Bagaimana saya bisa mengartikan itu?"

Seorang pakar terapi kejiwaan di Berlin, membantu para kliennya untuk menghadapi masalah terkait masa lalu Nazi di keluarganya. Terlepas tak ada studi akurat atau statistik, ia mengatakanknya kasus mengindikasikan bahwa keturunan keluarga yang tak pernah mengenal atau mengetahui sejarah Nazi keluarganya menderita depresi lebih parah, bahkan terjerumus dalam kecanduan alkohol.

Dalam satu kasus sangat menonjol, Betinna Goering, cucu Herman Goering, salah satu petinggi Nazi di negri itu sekaligus kepala angkatan udara Luftwaffe, memutuskan untuk melakukan sterilisasi pada usia 30 tahun karena 'takut untuk melahirkan seorang monster lagi."

Sementara beberapa cucu para Nazi menyatakan menemukan katarsis dalam diri mereka dengan menghadapi masa lalu.

Alexandra Senfft adalah cucu Hanns Elard Luding, utusan khusus Hitler untuk Slovakia yang terlibat dalam deportasi hampir 70 ribu yahudi. Setelah Ludin digantung pada 1947, jandanya membesarkan anak-anak mereka dengan keyakinan bahwa ayah mereka adalah 'seorang Nazi baik'

Dalam bukunya "The Pain of Silence", Alexandra menggambarkan bagaimana jaring kebohongan telah membebani keluarganya selama berdekade, terutama ibunya, yang berusia 14 tahun saat ayahnya digantung.

"Sungguh sangat tak tertahankan ketika menulis buku itu," ungkapnya. "Namun jika saya tetap diam dan berpura-pura tentang siapa sesungguhnya kakek dan kejahatan yang ia lakukan, saya mungkin terlibat dalam kejahatan itu tanpa saya sadari."

Alexandra juga menulis buku itu agar anak-anaknya kelak dapat bebas dari rasa malu dan bersalah. Ia juga menekankan menghadapi masa lalu keluarga sangat penting bagi kesehatan masyarakat Jerman dan keseluruhan sehingga sejarah tak perlu lagi terulang.
Penerimaan

Kini, Rainer Hoess memberi pelajaran pada anak-anak sekolah tentang era Nazi dan anti-Semitisme. Beberapa bula lalu ia mengunjungi Auschwitz untuk pertama kali dan bertemu grup pelajar Yahudi.

"Hari itu mungkin adalah hari paling sulit sekaligus mendalam bagi kehidupan saya," ujar Hoess. Ia juga merasa hari itu membebaskannya karena menyadari generasi ketiga Yahudi setelah Holocaust tidak menganggap cucu para Nazi, termasuk dirinya, pihak bersalah.

Hoes mengakui bahwa sosok kakeknya mungkin tak akan pernah berhenti menghantuinya. Setelah kunjungan ke Auschwitz, ia bertemu seorang tawanan yang selamat, Yahudi Polandia, Jozef Paczynski. Jozef adalah mantan tukang cukur Komandan Hoess.

"Dalam bawah sadar saya timbul harapan mungkin ia akan bercerita pada saya satu cerita baik tentang kakek, sesuatu yang menunjukkan ia bukanlah sosok kejam sepenuhnya, bahwa masih ada kebaikkan pada dirinya," tutur Hoes.

Josef meminta Hoes berdiri dan berjalan-jalan menyusuri ruangan, lalu berkata padanya, "Kamu benar-benar mirip seperti kakekmu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar